Selasa, 15 April 2008

Wayang pun Boleh Gaul Plus Funky

Sudirman Ronggo Darsono dan Ki Putut Wijanarko

Zamannya MTV, Wayang pun Boleh Gaul Plus Funky





Wayang boleh punya pakem, tapi dalang juga harus kreatif. Apalagi untuk mendekatkan wayang kepada anak-anak muda pada zamannya generasi MTV sekarang. Kuncinya, wayang juga harus gaul.

"Nut jaman kelakone!" Begitulah kiat dua dalang angkatan muda Ki Sudirman Ronggo Darsono asal

Ki Sudirman Ronggo Darsono dan Ki Putut Wijanarko

Surakarta dan Ki Putut Wijanarko dari Sragen mendekatkan wayang pada anak-anak gaul zaman sekarang. Artinya, wayang juga harus gaul dan mengikuti perkembangan jaman

"Sekarang generasinya MTV. Biar gaul dan--kalau perlu--funky wayang butuh pembaruan. Jika tidak ada pembaruan bukan tidak mungkin kesenian wayang akan ditinggalkan oleh masyarakat" begitu alasan Ki Sudirman Ronggo Darsono ditemui di sela Sarasehan Wayang Kulit 2008 yang digelar oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Komda Kota Palembang, di Aula RRI, kemarin (9/4).

Menurut Ki Sudirman, pakem pewayangan adalah paugeran (batasan) dalam wayang yang harus dipatuhi oleh para dalang. Meskipun demikian, isen-isen (isi) ajaran dalam pergelaran wayang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.

"Bahkan dalam adegan tertentu, omongan tokoh-tokoh tertentu juga tidak ditabukan dleweran (merambat) ke permasalahan yang sedang aktual di masyarakat. Bahkan, ketika sedang dalam jejeran, tiba-tiba Janaka terkentut, sebenarnya juga bukan hal yang tabu. Kenapa tidak? Bukankah Janaka itu juga gambaran sesosok manusia biasa," katanya.

Pendapat serupa diungkapkan Ki Putut. Ia mengingatkan, ketika pola pemikiran masyarakat telah berubah seiring dengan zamannya, semestinya wayang juga demikian. "Kita bisa melihat bagaimana pandangan generasi muda sekarang terhadap wayang. Apakah mereka masih sedekat seperti yang pernah dilakukan oleh generasi pendahulunya," paparnya.

Menurut Ki Putut, ketika pandangan mereka tidak seperti generasi terdahulu, semestinya pertunjukan wayang sekarang memiliki pendekatan yang berbeda. "Itu yang mestinya dipertimbangkan jika tak ingin wayang ditinggalkan (masyarakat). Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat pertunjukan wayang bisa sealur dengan pemikiran generasi muda sekarang," tandasnya.

Keduanya juga cuek bebek mengaku terobosan perlu dilakukan untuk membuat asap dapur tetap mengepul. Mereka lalu bercerita bagaimana para dalang senior mengeluhkan popularitas wayang kulit yang kian merosot. Gelar wayang sepi penonton. Para dalang rame-rame alih profesi.

"Introspeksi. Kenapa kok orang tidak suka melihat wayang kulit? Buat terobosan dan jangan kaku dengan pakem-pakem tertentu. Lha, kalau kita fanatik dengan pakem, siapa yang mau nonton?" Ki Sudirman seolah bertanya.

Katanya, yang paling penting hakikat seni wayang kulit yang tak sekadar hiburan belaka, melainkan media efektif untuk pembelajaran masyarakat, tetap dipertahankan. "Tontonan plus tuntunan, memenuhi suluk, sabet, cerita, iringan. Pakem itu yang harus dijaga. Kalau soal inovasi, itu tergantung kreativitas dalangnya," lanjutnya bersemangat.

Namun demikian, untuk mengarah ke sana bukan perkara mudah. Pasalnya dalam wayang lekat dengan hegemoni tentang adanya aturan-aturan yang seakan membatasi munculnya pembaruan. "Namun demikian, bagi saya kreativitas tetaplah menjadi tuntutan agar generasi muda tidak semakin jauh berpaling, tanpa meninggalkan keadiluhungan pergelaran wayang," timpal Ki Putut.

Lebih jauh ia menguraikan, untuk menuju keadiluhungan pergelaran wayang, seorang dalang harus memenuhi 12 syarat. Di antaranya antawecana (menyuarakan secara tepat masing-masing tokoh wayang), renggep (dapat menyajikan tontonan yang mengasyikkan, nges (dapat mendramatisasi adegan sehingga mampu membangkitkan rasa keterlibatan penonton/pendengar), tutug (dapat menyajikan lakon sampai tuntas), gecul/banyol (dapat membuat lelucon) dan kawiradya (dapat membedakan janturan untuk masing-masing adegan. (*hari budiyanto)

Tidak ada komentar: